Senin, 08 September 2008

Perkara Hutang

“Tiga perkara yang jika sudah datang padanya, maka segerakan pelaksanaannya. Yaitu (kesatu Jenazah yang sudah selesai (dimandikan, dikafankan) segera kuburkan, (kedua) hutang yang apabila telah jatuh tempo segera lunaskan, (ketiga) jika datang pemuda sholeh yang datang untuk meminangmu segerakan pelaksanaan (nikahnya)”. Dari hadits ini juga saya akhirnya menikah dengan pria sholeh itu. Tapi disini saya mau menuliskan perkara yang kedua yaitu hutang.

“Haram makan enak kalau punya hutang” kalimat yang saya belum memastikan ini hadits atau bukan, kalaupun hadits saya juga belum tau ini kuat atau lemah. Whatever, kalimat ini bikin saya merinding. Saking takutnya saya, saya mau cari tau bagaimana islam memandang hutang piutang. Hingga pada satu kesimpulan saya bahwa hukum hutang seperti hukum cerai, tidak haram tapi hindari sebisa mungkin. Kalau sudah terpaksa dan terlanjur, kuatkan tekad untuk menyegerakan membayarnya. Hutang juga dapat mengurang keberkahan, apalagi jika kita sudah sanggup membayarnya, kita tunda-tunda pelaksanaannya, maka percayalah, rezeki yang seharusnya kita nikmati tidak akan berkah. Disatu sisi, untuk orang yang memberi hutang sebaiknya memberi kelonggaran (waktu) pada yang berhutang bahkan dianjurkan diikhlaskan saja sebagai sedekah yang amat baik. Adanya aturan bagi orang yang memberi hutang ini adalah keseimbangan dalam kesempurnaan islam

Proses hutang piutang digambarkan dalam alQur’an. “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki dan dua orang perempuandiantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan untuk menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidak raguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi, jika kamu lakukan yang demikian, maka sungguh hal itu merupakan kefasikan pada kamu. Dan bertaqwalah pada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Seperti itulah proses idealnya. Tapi entah apa kerena kita orang timur yang katanya tinggi sopan santun dan serba ngga enakan, takut dibilang ngga percaya atau apalah sehingga meninggalkan proses tersebut. Bukan cuma tidak menghadirkan saksi, bahkan kalau bisa orang lain ngga perlu tau lah, cukup dua orang yang bersangkutan saja. Boleh-boleh saja saling percaya, khusnudzon dan itu memang harus. Tapi hukum (Allah) dibuat untuk melindungi manusia dari hal-hal yang buruk, apalagi tertulis dalam alQuran yang kita yakini kebenarannya. Wallahu’alam bishshawwaab.

Tidak ada komentar: